Aku
adalah seorang siswa pemalas dari sebuah SMA negeri di desaku. Tidak pernah
belajar dan selalu bangun kesiangan. Jarang mandi dan bahkan selalu tidur
dikelas. Sering terlambat dan tidak pernah mengumpulkan PR. Meskipun begitu,
aku tetap berangkat ke sekolah. Yah setidaknya aku bisa dapat uang jajan dan
menghindar dari amarah orang tua karenanya. Tapi bagiku tetap saja membosankan.
Sungguh aku tidak ada semangat hidup waktu itu.
Pagi
itu, “Pakkk....!” aku terkejut setengah mati. Ibu menendang tubuhku yang tengah
lemah gemulai tertidur di atas kasur di lantai depan TV. “Bangun! Antar ibu ke
pasar!” Bentaknya dengan penuh kekesalan. Begitulah cara ibu membangunkan
kerbau sepertiku. “Tiap hari bangun kesiangan................ Dasar anak tak
berguna......” Gerutu ibuku yang masih bisa ku dengar samar-samar. Dengan mata
setengah terbuka aku bangun dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Tidak
berani aku melanggar perintahnya. Karena ia pernah mengancam akan mengutukku
seperti Malin Kundang jika tidak menurutinya. Sungguh wanita yang tak
terkalahkan.
Dengan
setengah hati aku mengantarkannya ke pasar. Dalam hati aku menggerutu tiada
henti. “Sial, kenapa pas hari minggu sih? Mestinya hari ini aku bisa tidur
sepuasnya. Dasar tak berperikemanusiaan.”
Tentu ungkapan manis itu hanya kutelan dalam hati. Jika ibuku
mendengarnya mungkin seketika itu juga aku akan dikutuknya menjadi batu. Aku
tidak mau berakhir seperti Malin Kundang. Kasihan nanti si Malin karena kisah
hidupnya aku copas. hehehehe
Di
pasar, aku menunggu di tempat parkir sepeda motor. Ibu ku pergi untuk
berbelanja. Lama, sungguh sangat lama aku menunggunya. Mataku yang masih
memerah memohon untuk segera dipejamkan. Menunggu di tempat parkir yang
tertimpa panas matahari, perut keroncongan karena kelaparan, dan ngantuk berat
tingkat nasional membuatku frustasi. Bagiku itu adalah malapetaka yang luar
biasa, bahkan seperti bencana besar. Menurut jadwalku, seharusnya hari minggu
adalah waktu untuk sleeping beauty. Bukan
malah nongkrong di tempat parkir seperti ini.
Sesampainya
dirumah, tanpa istirahat terlebih dahulu. Ibu menyuruhku untuk memotong bambu
di belakang rumah. Ia memintaku membuatkannya tusuk sate. Tidak satu dua tusuk,
tapi sebanyak-banyaknya. Oh my God! Ku
tepuk jidatku sekeras-kerasnya. Aku merasa kebahagiaanku di hari minggu telah
dirampas ibuku sendiri. Dengan berat hati kuhabiskan sebagian besar waktuku di
hari itu untuk membuat tusuk sate. Lalu malam harinya, dengan bangga ibuku
mendeklarasikan usaha barunya di depan aku dan kedua adik perempuanku. “Mulai
besok ibu akan jualan sosis bakar! Anak-anak harus membantu ibu.” Pernyataan itu mendapat tepuk tangan yang
meriah dan sambutan hangat dari kedua adikku. Dan aku, hanya tercengang serta kaget
luar biasa.
Keesokan
harinya tidak jauh berbeda dengan kemarin. Pagi-pagi sekali ibu membangunkanku
dan dengan nada memaksa ia menyuruhku. “Bangun! Cepat beli sosis di warung
dekat pasar kemarin!”
“Hari
ini kan aku sekolah.” Dengan nada polos aku mencari-cari alasan. “Nanti kalau
telat...............”
“Makanya
cepat kamu beli sosis sekarang biar tidak telat!” Seperti pukulan telak aku
tidak berkutik. “Nih uangnya. Setelah sholat, kamu langsung berangkat!”
Singkat, padat, dan jelas. Begitulah ia menyuruhku. “Lagian udah langganan
telat mau cari-cari alasan biar tidak telat. Emang aku nggak tahu apa?!”
Gerutunya sembari meninggalkanku. Sungguh naas diriku ini.
Jam
tujuh kurang lima menit aku siap-siap berangkat sekolah. Setelah mengikat tali
sepatu aku langsung menuju ke sepeda motor yang sudah siap dan menungguku di
pelataran rumah. Baru sesaat celanaku duduk diatasnya. Suara ibuku menggelegar
dari dalam rumah. “Nanti sepulang sekolah langsung pulang. Jangan main! Buatkan
tusuk sate lagi!”
“Ha?”
Aku pun tak habis pikir. Jika seperti ini, masa mudaku sangatlah suram.
Dan
semenjak saat itu hari-hariku terasa sangat berat. Setiap hari pagi-pagi sekali
aku dibangunkan. Lalu disuruh beli sosis.
Sepulang sekolah disuruh membuat tusuk sate sebanyak-banyaknya. Kemana
masa-masa tenang dan bahagiaku dulu? Selama seminggu lebih aku coba untuk
bertahan. Namun hingga akhirnya aku tak mampu lagi. Aku telah lelah dengan
semua ini. Kemudian terlintas di kepalaku sebuah gagasan yang akan merubah
dunia, terutama duniaku.
Aku
mulai melanggar perintah ibu ku. Pulang sekolah aku tidak langsung pulang ke
rumah. Aku mampir dulu ke warnet, main PS, dan cuman keluyuran kesana kemari.
Menunggu sore hari untuk pulang. Dengan pulang sore aku berharap tidak disuruh
membuat tusuk sate lagi. Dan alhasil rencanku berhasil. Meskipun aku harus
membohongi ibu ku.
“Kok
pulang sore?” Tanya ibu ku dengan tatapan curiga. Berdiri di depan pintu rumah
menghalangi aku masuk dengan aura yang menakutkan. Sepertinya ia marah padaku.
“Tadi
ada tambahan jam belajar kok bu.” Alasanku, mengingat aku sudah kelas dua belas
dan sebentar lagi ujian.
“Jam
tambahan? Sejak kapan kamu punya jam tambahan?”
“Sejak
hari ini. Aku kan sudah kelas dua belas. Sebentar lagi ujian. Jadi ada jam tambahan buatku bu.” Aku mencoba
menjelaskan dan mengarang kebohongan. Dalam hati aku gemetar karena berbohong
pada ibuku sendiri.
Sesaat
ibu ku terdiam dan mengangguk-ngangguk kecil. “Ya sudah sekarang kamu buatkan
ibu tusuk sate lagi.” Suruhnya, tapi kali ini dengan nada yang lebih lembut.
Namun,
dalam hati aku menolak. Kenapa masih disuruh membuat tusuk sate itu lagi sih?
Lalu tanpa perasaan aku menjawab. “Bu, aku itu capek. Aku baru pulang sekolah.
Dan lagi hari ini ada jam tambahan. Aku mau istirahat!” Kata-kataku sedikit
kasar.
Ibu
hanya termenung. Dan tanpa kata-kata lagi ia masuk ke dalam rumah
meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu. Entah kenapa aku bisa seperti itu. Sungguh
aku sudah tidak bisa menahannya.
Semenjak
saat itu, setiap hari aku mengulangi hal yang sama. Pulang sore hari bahkan
hampir petang dengan berbagai macam alasan. Ada ekstra lah, remidi lah, acara
kelas lah, ini lah, itu lah, dan apapun itu yang bisa ku gunakan untuk sebagai
alasanku. Awalnya ibu selalu menunggu kepulanganku dan bertanya seperti
biasanya. Namun hingga akhirnya aku tidak melihat lagi ibuku menunggu
kepulangan ku di depan pintu rumah. Aku sedikit terkejut. Kemudian aku masuk ke
dalam dan mencarinya. “Tok....tok.....tok...” Suara yang tak asing bagiku.
Suara bambu yang sedang di belah menggunakan golok dengan membentur-benturkannya
ke sebuah kayu yang menjadi landasannya. Dengan mata kepalaku sendiri ibu
tengah membuat tusuk sate sendiri. Ada rasa tak nyaman dalam hati melihat ibuku
bersusah payah seperti itu. Tetapi aku pun tidak ingin kembali disuruh membuat
tusuk sate lagi. Membuat tusuk sate, bagiku sangat membosankan. Dan kurasa ibu
tidak akan pernah menyuruhku membantunya lagi.
Semuanya
ia kerjakan sendiri. Seperti pagi ini, aku bangun pagi tapi bukan karena ibu ku
yang membangunkanku. Mungkin karena sudah terbiasa bangun jam segini. Aku
merasa aneh karena tidak seperti biasanya. Ada yang kurang hari ini. Ya, pagi
ini ibuku sudah tidak ada dirumah. Entah pergi ke mana. Aku cuci mukaku, sikat gigi, lalu sarapan. Sudah
tersedia di atas meja makan sarapan untuk kami bertiga. Selesai makan aku ganti
baju dan memakai seragam. Tanpa mandi aku berangkat sekolah. Kedua adikku telah
berangkat terlebih dahulu. Dan saat aku keluar rumah aku melihat ibu ku datang
dengan sepeda yang biasa ku gunakan ketika sepeda motorku tidak mampu ku isi
bensin lagi. Ia membawa sekantong kresek besar sosis di tangannya. Sepertinya
ia baru membelinya. Padahal jarak rumah ku dengan warung pemasok sosis itu
terbilang cukup jauh. Karena itu aku yang biasa membelinya dengan menaiki
sepeda motor. Namun kali ini ibu ku yang membelinya dengan menaiki sepeda.
Sungguh ironis, jika seorang ibu harus menempuh perjalanan jauh ketika ia bisa
menyuruh anaknya yang lebih mampu untuk melakukannya.
Jauh
di dalam lubuk hatiku. Aku tak terima melihat hal seperti ini. Aku hanya
terdiam dan mematung di depan pintu. Ibu turun dari sepeda dan memakirkannya.
Lalu langsung masuk rumah begitu saja tanpa sepatah kata pun padaku.
Beberapa bulan kemudian bapak pulang dari perantauannya di Kalimantan. Awalnya aku pikir bapak pulang karena sedang libur dari pekerjaannya disana. Namun beberapa minggu kemudian aku mengetahuinya. Bapak pulang bukan karena libur, tapi PHK. Ya, saat itu tengah terjadi krisis ekonomi. Banyak perusahaan-perusahaan besar yang gulung tikar dan memutus hubungan kerja ribuan pegawainya. Dan salah satunya adalah bapakku.
Dan mulai saat itu kehidupan kami sedikit bergeser. Dahulu dapat dibilang makmur, sekarang turun beberapa drajat. Kami masih dapat bertahan hidup dengan simpanan tabungan bapak yang masih ada. Kebutuhan hidup keluarga yang tidak sedikit menyadarkan kami. Simpanan yang ada saat ini tidak akan bertahan lama. Sebenarnya masih ada sawah yang bisa dijadikan tempat kami bergantung. Namun itu pun hanya ketika pas panen. Sedangkan kebutuhan hidup tidak dapat ditentukan kapan waktu dan berapa jumlahnya.
Tabungan semakin menipis, kami hidup dengan sangat berhemat. Bapak pusing mencari pekerjaan. Adik-adikku manangis karena tidak bisa jajan. Aku stres dengan biaya sekolahku yang kian meningkat. Ada LKS lah, SPP lah, inilah, itulah. Ditambah lagi aku yang sudah kelas dua belas, banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan. Namun ibu begitu tenang. Bahkan sering kali ia tersenyum untuk menghibur kami. Dengan sosis bakar jualannya ia mencoba tetap tegar dan mengumpulkan recehan demi memenuhi kebutuhan kami.
"Bu, mau jajan." Rengekan adik-adikku.
"Iya, ambil saja uangnya ditoples." Jawab ibu.
Ibu menyimpan uang hasil penjualannya di sebuah toples. Tidak terlalu besar dan terbuat dari bahan plastik. Isinya masih dapat dilihat dengan jelas dari luar. Terdapat lembaran-lembaran uang seribu dan dua ribuan. Serta berbagai macam jenis recehan berjumlah banyak.
"Bu..........." Panggilku dengan sedikit malu.
"Iya?" Jawab ibu sambil menyiapkan dagangannya.
"Anu..." Sebenarnya aku merasa tak enak dengan ibu. Setelah apa yang telah aku lakukan waktu itu. Tapi apa boleh buat. Aku sudah terdesak. "Aku kan udah nunggak SPP tiga bulan. Karena ada ulangan tengah semester, besok harus sudah melunasi uang SPP dan LKS. Kalau tidak, aku tidak bisa ikut tes tengah semester." Ujarku. Sekolahku mewajibkan seluruh siswanya untuk melunasi tunggakan-tunggakan sebelum sebuah tes diadakan. Entah itu hanya sebuah gertakan atau benar apa adanya. Aku pun tidak tahu. Karena selama ini semua siswa selalu melunasi tunggak-tunggakkannya sebelum tes diadakan.
Ibu terdiam sejenak. Lalu ia pun bertanya padaku. "Berapa yang harus dibayar?"
"Ada tiga ratus lima puluh ribu bu."
"Begitu....." Lalu ibu meraih toples tempat uang dagangannya. Ia ambil beberapa lembar dan recehan. Dihitungnya uang-uang itu lalu diberikan padaku. "Ini, ada dua ratus ribu. Bilang sama pak guru apa bu guru nanti kurangannya nyusul." Ujar ibu dengan senyumnya. Seketika hatiku terenyuh. Air mataku ingin keluar. Namun sebagai anak laki-laki aku menahannya sekuat mungkin.
Dan...... hari demi hari berlalu. Disamping simpanan bapak yang tersisah, kehidupan kami tercukupi karena ada sosis bakar ibu. Aku pun mulai menyadarinya. Sebagian kebutuhan hidup keluarga kami bergantung pada usaha kecil ibuku. Seperti uang jajan, biaya perlengkapan sekolah, tanggungan listrik, dan hal-hal lain yang masih dapat ditanggung dari penghasilan jualan ibu.
Sosis bakar yang dulu ku benci sekarang menolong kehidupan keluargaku. Betapa bodohnya aku. Aku selalu mencari-cari alasan di depan ibu. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Jujur saja aku masih tidak suka jika ibu ku menyuruh ku membuat tusuk sate. Meskipun begitu jika disuruh sekarang aku nurut. Kini setiap pagi aku yang membelikan sosis untuk dagangan ibu. Dan setiap minggu aku selalu setia mengantar ibu ke pasar. Aku tidak akan mengeluh dan menghindar lagi. Terimakasih ibu, terimakasih....................
Aku tidak akan menyia-nyiakan jerih payahmu ibu. Keringat yang engkau cucurkan dalam usaha yang kau rintis tak kan kubuat terbuang sia-sia. Aku akan menjadi anak yang lebih baik ibu. Aku menyayangimu.....................